ST.SUNARDI, FLORIA DAN
CENTRE OF EXELLENCE
(catatan kecil atas buku karya
St. Sunardi: Vodka dan Birahi Seorang Nabi
oleh Wiwik Sri Wulandari, M.Sn. – dosen pada Jur.Seni Murni Fak.Seni Rupa ISI Yogyakarta "tercinta"
Membaca Buku karya St. Sunardi:
Vodka dan Birahi Seorang Nabi (penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2012) tidak bisa dilepas begitu saja dengan seorang St. Sunardi yang sedemikian memiliki perhatian yang dalam terhadap persoalan seni, budaya dan religi. Sejumlah artikel yang dituangkan dalam buku ini merupakan kumpulan tulisan ilmiah beliau yang diintensikan untuk meneropong, menimbang dan mengkritisi dengan sangat jelas, lugas, teliti, sekaligus cerdas mengenai persoalan seni, budaya maupun religi. Melalui gaya penulisan yang tak pelak mengundang decak kagum, karena tak disangka bahwa setiap artikel yang benar-benar ilmiah yang disampaikan beliau dengan gaya penulisan yang akrab, santai namun runut dan mengandung validitas keilmiahaan yang tinggi. Sepintas orang dibuat terpana, apakah tulisan ini adalah karya fiksi atau karya ilmiah. Saya jamin semua artikel yang beliau tuliskan adalah benar-benar tulisan yang sangat ilmiah dan sangat dapat dipertanggungjawabkan sebagai rujukan ilmiah bidang seni, budaya maupun religi. Demikianlah kekuatan bertutur dan berbahasa seorang St. Sunardi yang saya kira sudah melewati tahap formalisme berbahasa ilmiah sehingga menulis baginya juga adalah sebuah ekspresi berkesenian atau sudah mencapai pada tahapan interpretasi seni. Metode inilah yang mungkin juga dapat dijadikan sumur ilmu pengetahuan bagi setiap pembacanya. Menilik sejumlah artikel dalam buku ini, seorang St. Sunardi juga tidak lepas dari pengaruh beliau yang berlatarbelakang pengka!i budaya dengan pendekatan kajian budaya yang kental dengan nuansa kritisisme namun selektif dalam menjawab dan melahirkan gagasan-gagasan baru. Saya tentu tidak akan secara lengkap mencoba membaca keseluruhan artikel dalam buku St. Sunardi ini yang sangat kaya dan kritis pemikirannya ini. Namun yang dapat saya tawarkan hanyalah mencuplik dari sebagian tulisan beliau kepada anda sekalian.Sala" satu artikel yang menarik perhatian saya adalah tulisan beliau yang berjudul:
“Hidup ini Singkat, Floria … Perempuan dalamhidup Santo Agustinus (Hal 43-52).
Tulisan ini diintensikan sebagai pengantar buku Jostein Gaarder "vitabrevis", Jalasutra: Yogyakarta, 2005. Tulisan ini sepintas seperti kisah fiktif yang dikemukakan, namun jika kita menilik lebih dalam lagi, akan terungkap sisi-sisi historis dan upaya pembuktian keilmiahan yang semakin menguat ketika beliau harus membuktikan bahwa memang tulisan Vita Brevis karya Floria yang merupakan kekasih seorang Agustinus, seorang Bapa Gereja adalah benar-benar ada dan dapat dibuktikan eksistensi keberadaannya. Namun demikian secara kuat tulisan ini membawa kita pada sebuah kritisisme makna bahwa ada sisi humanisme yang dialami dalam fase kehidupan seseorang sekalipun ia adalah seorang Bapa Gereja yang suci dan agung. Sisi humanisme dalam hal ini adalah fase pengalaman jatuh cinta, pengalaman mencintai, bahkan kenakalan sensualitas, memiliki buah cinta dan hidup bersama dengan perempuan yang akhirnya tidak mendapat restu dari ibunda Agustinus (Monica). Sisi humanisme ini bukan sebuah hal yang selamanya Salah dan layak dihakimi begitu saja. Point kedua adalah bahwa konstruksi berpikir dengan semangat patriarki seorang Agustinus tidak selamanya mutlak dan absolut. Pandangan-pandangan objektif dari sisi perempuan, dan dari sisi memaknai Tuhan dalam kehidupan seseorang perlu dijadikan pertimbangan yang juga tidak kalah penting dan berbobot. Bagaimana Floria memaknai hubungan cinta mereka adalah sebuah hubungan yang suci karena didasari keinginan yang mulia karena cinta yang sesungguhnya. Bagaimana akhirnya Floria memandang Tuhan dalam hidupnya adalah jauh lebih bermakna dan dalam. Baginya Tuhan Agustinus adalah Tuhan yang menakutkan, Tuhan Floria sebaliknya adalah cinta. Tuhan yang menciptakan surga dan bumi adalah Tuhan yang juga menciptakan Venus. Secara umum dapat dikatakan bahwa konstruksi Benar atau Salah untuk mengukur moralitas seseorang perlu direnungkan kembali, yang kedua apakah pandangan yang berkedok moralitas agamis itu menjadi sebuah jawaban mutlak, apakah tidak perlu meninjaunya dari sisi-sisi atau sekat-sekat yang lain?Tulisan tersebut mempertanyakan hal substansi itu.
Tulisan kedua yang cukup menarik perhatian saya adalah tulisan St. Sunardi yang ditujukan untuk ISI Yogyakarta dengan judul:
ISI Yogyakarta: Centre of Excellence atau Centre of Common Sense (Hal.349-354). Tulisan ini merupakan artikel yang dimuat dalam Harian Kedaulatan Rakyat, 2004 sebagai upaya mengkritisi tulisan Prof. I Made Bandem yang berjudul:
ISI Yogyakarta: Peran, Kenyataan dan Tantangan.
Sebagai bagian dari civitas academika ISI Yogyakarta, bagaimanapun saya merasa sangat bangga memiliki ISI Yogyakarta yang dalam perjalanannya telah melahirkan ratusan bahkan ribuan sarjana seni yang telah memberikan peran yang cukup signifikan dalam mengisi perkembangan seni di Indonesia dan bahkan peran dalam dunia internasional. Melalui tujuan mulia yang dicanangkan Prof. I Made Bandem untuk menjadi centre of excellence atau pusat unggulan seni, secara umum hal ini tidak menjadi masalah yang signifikan, justru saya berterimakasih atas gagasan pemersatu yang menyemangati sejarah panjang perjalanan peran ISI Yogyakarta terhadap dunia. Namun demikian setelah saya juga membaca tulisan ST.Sunardi yang menawarkan gagasan centre of common sense yang bernafaskan pada pendidikan yang juga mampu menjangkau masyarakat sebanyak-banyaknya, menyentuh kepentingan pelbagai kelompok masyarakat, kepentingan budaya maupun seni orang-orang biasa, saya kira hal ini juga faktor yang perlu direnungkan dan dipertimbangkan kembali oleh ISI Yogyakarta sebagai sebuah penguatan gagasan. Saya kira gagasan S. Sunardi juga tidak semata-mata mengkritisi namun juga didasari
rasa kecintaan yang dalam terhadap ISI Yogyakarta, terbukti kejelian beliau menilai, meneropong dan merenungkan peran-peran yang dibawakan ISI Yogyakarta antara lain keunggulan ISI Yogyakarta dalam mengembangkan seni melalui kemampuan mengabsorbsi tradisi ke dalam karya-karya seninya. Sebagai contoh kekhasan karya-karya Heri Dono, misalnya tidak bisa dilepaskan dari keberhasilannya berdialog dengan tradisi secara mendalam sampai tingkat keberanian mendeformasi (kadang-kadang mendistorsi bentuk-bentuk seni tradisional. Warna lokal dihadirkan menjadi sebuah potensi keragaman kebudayaan dan pencerahan baru bagi dunia.
Kedua gagasan tersebut baik Centre of Excellence dan Centre of Common Sense
dapat dikolaborasikan menjadi sebuah penguatan dan pengkayaan baru dalam hal konsep pengembangan tujuan atau visi ISI Yogyakarta. Sebagai sebuah corps pendidikan tinggi seni yang selalu terbuka terhadap semangat zamannya (zeitgeist ). Namun juga nilai-nilai strategis zaman yang harus selalu dikritisi. Menjadi global namun juga perlu mempertimbangkan kekhasan lokal (tradisi sebagai bagian dari karakter bangsa, selalu menjadi nafas dalam berkesenian yang dilahirkan oleh insan-insan seni dari ISI Yogyakarta. Demikianlah ISI Yogyakarta menjadi semakin menjadi pusat unggulan seni yang selalu mendengar dan merasakan, peka terhadap nilai zamannya.
salam budaya!
No comments:
Post a Comment