Wednesday, March 12, 2008

Membaca Pop Gerabah



Pop Gerabah Miyuki Anai: Kontemplasi Budaya untuk Indonesia

Trend pameran keramik akhir-akhir ini marak diramaikan oleh genre keramik figuratif, namun kali ini penonton agak disuguhi penampilan yang berbeda. Melalui medium pottery, Miyuki Anai seorang perupa keramik Jepang menggelar Pameran Tunggal di Potluck Coffee Bar and Library, Jl Haji Wasid No. 31 Bandung dari tanggal 1 – 15 Maret 2008. Karya-karya keramik yang dipamerkan ini meminjam teknik keramik gerabah tradisional dengan pembakaran bersuhu rendah yang diwujudkan dalam bentuk visual baru disertai pemaknaan baru, karenanya Miyuki menamainya dengan sebutan Pop Gerabah.

Ada sejumlah catatan yang terekam ketika mengamati karya-karya Pop Gerabah Miyuki Anai ini. Pertama, kehadiran karya seni dipengaruhi oleh siapa seniman pembuatnya dan latar belakang penciptaan ide. Seluruh karya yang disajikan Miyuki Anai adalah sejumlah 22 karya terbagi dalam 17 karya dengan medium keramik -bahan tanah liat, keramik, ceramik on decal disertai 5 karya drawing dengan teknik charcoal on paper. Karya-karya tersebut dibuat oleh tangan seorang Miyuki Anai yang notabene adalah warga negara Jepang yang telah tinggal beberapa tahun dan mengamati berbagai corak, sifat dan khazanah gerabah tradisional Indonesia. Ada keterkejutan budaya yang berbeda, dimana budaya mengapresiasi keramik atau benda-benda keramik tradisi buatan tangan sangatlah dihargai di negeri Sakura itu, sedangkan di Indonesia kondisi ini sangat jauh berbeda. Bahkan ketika pengamatan Miyuki meneropong ke wilayah desa-desa gerabah di pulau Jawa dan berbagai daerah lain di Indonesia mungkin diperkirakan akan kehilangan masyarakat penyangga karena lemahnya apresiasi dan attitude menjaga keberlangsungan tradisi. Selain itu, dalam ide yang sedikit berbeda, ia mengamati bahwa kebudayaan daerah di Indonesia ini memiliki keunikan dan kekayaan yang luar biasa, namun oleh karena kehadiran kebudayaan agama-agama modern dan proses modernisasi yang masuk ke Indonesia, menjadikan kebudayaan tradisi tereduksi dan mengalami dilema atas adaptasi budaya baru. Mungkin alasan ini terkesan sederhana, namun inilah wujud keterkejutan budaya yang justru membuat rajutan makna tersendiri baginya selama berada di Indonesia dalam rangka pekerjaan dan studi, sehingga melahirkan bentuk visual baru dalam sejumlah karyanya yang berjudul Gerabah Modern, Koteka Modern, Tea pot & Cup, dan sebagian karya drawingnya di atas kertas. Bagi kita, ide bersahaja ini justru menjadi ironis, karena ide dan gagasan untuk kembali menengok dan mempertahankan tradisi ini disuarakan oleh kawan kita dari Jepang. Sebuah bentuk kontemplasi budaya untuk Indonesia yang didengungkan Miyuki Anai melalui karya-karyanya.

Kedua, permainan visual dan keunikan pemilihan ikon. Ketika menilik karya yang berjudul Koteka Modern, secara visual tentu akan memancing senyum kita sejenak. Bagaimana mungkin koteka terbuat dari bahan keramik, permukaannya dihias sedemikian rupa, terlihat ganjil dan tak masuk akal? Dalam keganjilan kehadirannya, karya ini membawa unsur parodi dan ironi tersendiri. Parodi dalam pengertiannya yaitu mengadopsi teks, karya, atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat dari duplikasi, revivalisme, atau rekonstruksi – sebagai ungkapan dari kritik, sindiran, kecaman – sebagai ungkapan dari ketidakpuasan atau sekedar ungkapan rasa humor. Karya ini mengandung parodi karena Miyuki tiba-tiba mengusung kembali ikon tradisi Papua tersebut dalam konteks sekarang dan ia menggarapnya dengan sentuhan warna dan simbol tertentu dengan gagasan mengkritisi kembali tradisi yang dikhawatirkan lenyap tergilas oleh roda-roda modernisasi. Di sisi lain, menurut catatan pembacaan seorang keramikus, kurator sekaligus Dosen FSRD ITB, Asmudjo J. Irianto dalam katalog Pameran Pop Gerabah Miyuki Anai, karya ini menjadi sedemikian ironi karena koteka modern memberi makna konotatif bahwa terdapat sejumlah masalah dalam adaptasi gaya hidup modern. Perubahan dan penetrasi gaya hidup modern yang sedemikian cepat menghasilkan tatanan kehidupan modern Indonesia yang jauh dari mature.

Catatan ketiga agaknya adalah adanya muatan simbolik dalam karya-karya Miyuki. Pada karya yang lain Miyuki menampilkan karya berjudul Modern Gerabah. Secara visual tampilan karya ini tidak jauh berbeda dengan gerabah tradisional umumnya baik secara bentuk, namun menariknya, Miyuki memakai bahan keramik dan menambah sejumlah unsur warna serta bentuk-bentuk visual di permukaannya. Karya Modern Gerabah ini berjumlah sembilan buah dan setiap unsurnya ia beri sentuhan simbol-simbol kebudayaan. Bentuk-bentuk wadah seperti tempayan air besar dan kecil tersebut agaknya tidak difungsikan sebagai wadah yang sebenarnya, namun lebih bernilai simbolik di dalamnya. Dalam catatan selanjutnya, Asmudjo J. Irianto membaca bahwa bentuk dasar wadah itu sendiri merepresentasikan lapisan makna, di antaranya persoalan kehadirannya sendiri – lenyapnya tradisi gerabah. Selain itu wadah tersebut dapat dianalogikan sebagai ’ruang kebudayaan’ tempat manusia berinteraksi.

Keempat, medium gerabah menjadi medium penyadaran. Dalam karya berjudul Gerabah 2, Miyuki dengan sengaja mengusung bahan tanah liat dan membuatnya dengan teknik pembakaran bersuhu rendah, seperti lazimnya pembuatan gerabah tradisi nusantara. Ukuran karya ini relatif besar, namun menariknya ia menambahkan unsur-unsur visual seperti berbagai macam alat perabot yang terbuat dari tanah liat di atas permukaannya. Karya ini agaknya menjadi karya terbesar di antara karya-karya yang lain oleh karena ukurannya. Kendati demikian karya ini memiliki muatan makna yang berbeda, karena unsur-unsur visual pembentuknya turut memberi tanda pembacaan tersendiri. Jika dicermati, di balik karya ini ada muatan ’kegelisahan’ Miyuki membaca keberlangsungan kehidupan desa-desa gerabah Indonesia yang kian tidak mendapat tempat di masyarakat. Alat-alat perabot rumah tangga berbahan tanah liat telah ditinggalkan, dan seiring dengan itu desa-desa penghasil gerabah di nusantara pun lambat laun diperkirakan akan tergeser sejalan dengan kemajuan industri peralatan modern dan proses modernisasi sendiri. Sebagai seniman keramik yang hidup dan tumbuh di Jepang, baginya dan masyarakat Jepang, tradisi atau kebudayaan merupakan pondasi yang kuat untuk memposisikan identitas dalam perubahan zaman. Kendati modernisasi di Jepang mengalami pengaruh budaya Barat namun tetap dihidupi oleh kesadaran dan kemauan masyarakat Jepang menjaga tradisi dan terus meng-up date-nya dalam kehidupan modern. Produksi keramik tradisi pun masih terjaga hingga kini dan terus memiliki masyarakat penyangga. Salah satu bentuk penghargaan dan kecintaan mereka adalah dengan menggunakan benda-benda keramik non-pabrikan (hand made) untuk kehidupan sehari-hari. Kondisi ini agaknya tidak dijumpai Miyuki selama berada di Indonesia. Melalui karya ini Miyuki ingin membuat penyadaran baru bahwa tradisi tidak selalu harus berada di masa lalu, tradisi yang kaya dari khazanah budaya Indonesia ini dapat disisipkan, disintesakan pada kehidupan modern. Tradisi masih terus menjadi spirit dan identitas kultural setiap individu jika diambil nilai-nilainya untuk kemudian di-up date dalam bentuk-bentuk baru. Tentu saja untuk mengapresiasi karya-karya modern berbasis tradisi ini diperlukan masyarakat penyangga dan apresiator agar terus hidup. Harapannya, masyarakat kota atau menengah ke atas dapat menjadi penyangga bagi produksi barang-barang yang dibuat di desa-desa.
Menilik karya-karya Miyuki dalam pameran ini secara keseluruhan, kita dibawa untuk sejenak berkontemplasi terhadap kekayaan khazanah budaya dan tradisi Indonesia yang sedemikian kaya yang dapat dikembangkan, dijaga keberlangsungannya dan disintesakan sesuai dengan konteks zaman. Potensi sumber daya alam dan kesenian Indonesia ini melimpah ruah sehingga diperlukan kreativitas, manajemen dan strategi mengolah potensi tersebut secara berkelanjutan. Dalam konteks seni rupa, karya Miyuki Anai ini memberi nilai rujukan lain dalam memperkaya ide dan medium seni rupa dalam perkembangan seni rupa kontemporer akhir-akhir ini. Selamat mengapresiasi.

Wiwik Sri Wulandari, S.Sn.
Mahasiswi Magister Seni Rupa ITB

Painting and Printmaking Artworks of Me

  Wiwik S. Wulandari, Stop Food Over Consumption ,  Acrylic on canvas ( painting ), 60x80cm, 2021 Karya ini telah dipamerkan dalam Agenda In...