PARODI SIMULASI ALA BENZIG
Review atas Pameran Seni Rupa Beni Sasmito ’Benzig’
(Artikel ini dimuat di rubrik Khazanah, Harian Pikiran Rakyat Bandung, 26 Januari 2008, hal.31)
Di tengah hingar-bingarnya negara ini membicarakan kabar kondisi kesehatan mantan presiden kedua terkuat republik ini yang semakin meng-’kritis’, dan diantara persoalan bangsa ini yang diusik rasa ‘nasionalisme’-nya oleh karena persoalan klaim-klaim negara tetangga terhadap hak kekayaan intelektual kita, seorang perupa Bandung, Beni Sasmito ‘Benzig’ sedang menggelar pameran tunggal ketiganya bertajuk “Alarm-Sistem Peringatan Dini” di ruang pameran Butonkultur21 Bandung tanggal 18 – 25 Januari 2008 mendatang. Pameran ini akan memajang 35 karya serta 1 album portofolio. Acara pembukaan pameran akan berlangsung Jumat, 18 Januari 2008 pukul 19.00-21.00 WIB di ruang pameran Butonkultur21, Jln. Buton 12 Bandung. Pameran dibuka dari Senin hingga Sabtu, 10.00-17.00 WIB, termasuk forum dialog dari Senin hingga Jumat, 15.00-17.00 WIB.
Sebuah permainan parodi tersaji dalam karya yang di dalamnya terdapat teks yang menyatakan "Pemimpin Revolusi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata". Daya tarik visual karya tersebut menampilkan wajah si perupa sendiri sebagai subject matter yang sangat kuat tertampilkan menggantikan figur utama Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi. Karya ini adalah parodi imaji presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang dipinjam oleh Beni Sasmito, perupa yang akrab dipanggil Benzig ini sebagai bahasa metafor salah satu karya visualnya. Pada karya yang lain muncul tulisan "madjoe troes pantang moendoer" yang dengan mudah dapat diketahui bahwa Benzig telah ‘mencomot’ slogan perjuangan bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan.
Review atas Pameran Seni Rupa Beni Sasmito ’Benzig’
(Artikel ini dimuat di rubrik Khazanah, Harian Pikiran Rakyat Bandung, 26 Januari 2008, hal.31)
Di tengah hingar-bingarnya negara ini membicarakan kabar kondisi kesehatan mantan presiden kedua terkuat republik ini yang semakin meng-’kritis’, dan diantara persoalan bangsa ini yang diusik rasa ‘nasionalisme’-nya oleh karena persoalan klaim-klaim negara tetangga terhadap hak kekayaan intelektual kita, seorang perupa Bandung, Beni Sasmito ‘Benzig’ sedang menggelar pameran tunggal ketiganya bertajuk “Alarm-Sistem Peringatan Dini” di ruang pameran Butonkultur21 Bandung tanggal 18 – 25 Januari 2008 mendatang. Pameran ini akan memajang 35 karya serta 1 album portofolio. Acara pembukaan pameran akan berlangsung Jumat, 18 Januari 2008 pukul 19.00-21.00 WIB di ruang pameran Butonkultur21, Jln. Buton 12 Bandung. Pameran dibuka dari Senin hingga Sabtu, 10.00-17.00 WIB, termasuk forum dialog dari Senin hingga Jumat, 15.00-17.00 WIB.
Sebuah permainan parodi tersaji dalam karya yang di dalamnya terdapat teks yang menyatakan "Pemimpin Revolusi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata". Daya tarik visual karya tersebut menampilkan wajah si perupa sendiri sebagai subject matter yang sangat kuat tertampilkan menggantikan figur utama Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi. Karya ini adalah parodi imaji presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang dipinjam oleh Beni Sasmito, perupa yang akrab dipanggil Benzig ini sebagai bahasa metafor salah satu karya visualnya. Pada karya yang lain muncul tulisan "madjoe troes pantang moendoer" yang dengan mudah dapat diketahui bahwa Benzig telah ‘mencomot’ slogan perjuangan bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan.
Tampilan visual yang menonjol dalam sejumlah 35 karya-karya Benzig ini menunjukkan ragam semangat ‘heroisme’, ‘patriotisme’ dan kebangsaan seperti dalam sajian poster-poster propaganda ala sosialisme Cina, Jerman, atau Rusia. Hal ini akan mengingatkan memori penonton pada upaya pencitraan tokoh atau figur, semangat, ideologi tertentu pada suatu komunitas atau negara tertentu jika mengacu pada poster-poster propaganda negara sosialis. Media seni rupa digunakan sebagai ‘corong’ politik sekaligus strategi visual tertentu demi menanamkan suatu ideologi yang terpimpin (seperti ideologi Nazi di Jerman, Stalinis di Rusia). Tak dapat dipungkiri lagi bahwa kekuatan ideologi visual memiliki potensi luar biasa dalam memompa pengaruh kesadaran maupun bawah sadar seseorang, jika diproduksi secara maha dasyat juga.
Kini di era industri kapitalisme ini, semangat propaganda itu telah menyatu dalam keseharian kita, bahkan kita hidup dalam dunia hiperealitas yang tak terhindarkan lagi. Kita diselubungi oleh kekuatan halus propaganda media iklan (media cetak, TV, Radio, internet, media cetak luar ruang,dll) yang secara lambat namun pasti mempengaruhi ruang bawah sadar kita hampir setiap detik hidup keseharian kita. Bahkan hidup kita telah dituntun oleh citra-citra yang tergambar dalam layar imagi yang terekam dalam segala potensi dasar indera kita dari media iklan propaganda tersebut. Image seorang perempuan adalah ia yang berambut lurus, panjang, berkulit mulus, putih, tak berjerawat, bertubuh langsing, harum, dan lain sebagainya. Jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya semangat yang terselubung di dalamnya adalah upaya homogenitas citra yang berujung pada strategi ekonomi-politik kapitalisme industri itu sendiri. Tentu bagi yang bijak dan tanggap, semua akan tergantung pada kecerdasan kita ‘membaca dan mencerna’ berbagai serangan propaganda media tersebut. Betapa dunia hiperealitas ini telah menyatu dalam keseharian kita.
Perupa Beni Sasmito ‘Benzig’ yang saat ini sedang melanjutkan studinya di Magister Seni Rupa ITB ini, menangkap ‘potensi propaganda’ ini sebagai perayaan visual yang potensial dalam menanamkan image tertentu kepada para pemirsa. Ia mengkonstruksi sebuah ‘Simulasi Negara’ yang ia sebut sebagai proyek “Simulasi Negara Dunia Ketiga”. Ia ingin membangun sebuah imagenya sendiri tentang konsep negara dalam karya-karyanya, ia sedang melakukan perayaan parodi tanda-tanda visual, ia sedang menanamkan ideologinya tentang bagaimana konsep negara dunia ketiga melalui penguasaan bahasa metafornya. Walaupun tampak bernuansa politik dengan meminjam sejumlah tanda-tanda visual konsep propaganda politik negara tertentu, namun tersembunyi semangat Pop Art yang cukup dapat dibaca dan dikenali. Upaya memakai dan meminjam tanda-tanda visual ‘lain’ merupakan salah satu perayaan budaya visual postmodern sekaligus upaya mempertemukan seni rupa elitis dan seni rupa publik.
Kesadaran membangun ide perihal citra-citra tanda visual dalam sebuah tema besar simulasi negara dunia ketiga ini sedikit banyak dipengaruhi oleh hasil dari berbagai studi visualnya atas berbagai citraan visual terutama poster dari masa revolusi kebudayaan Cina dan poster-poster Rusia masa Uni Soviet berdiri dan wacana geopolitiknya terhadap negara-negara pascakolonialis seperti halnya Indonesia dan negara-negara yang secara politik sedang bergejolak. Sejauh mana konsep visual dan ideologinya akan dibaca dan ditafsir secara komprehensif oleh dua orang essay contributor yaitu Prof. Dr. Bambang Sugiharto (dosen, guru besar filsafat Universitas Parahyangan Bandung sebagai penelaah filsafat dan seni rupa) dan Hawe Setiawan (jurnalis, penulis lepas dan pemerhati seni rupa) dalam tulisan katalog pamerannya.
Menariknya lagi bahwa pameran tunggal Beni Sasmito ‘Benzig’ ini akan memberi ruang untuk sejumlah pertanyaan dalam forum dialog yang diadakan dari tanggal 21 – 25 Januari 2008, setiap pukul 15.00-17.00 WIB. Dengan demikian paling tidak, satu dari tujuan program yang diselenggarakan oleh Butonkultur21 yaitu mengembangkan riset, produksi dan distribusi seni baru yang dilahirkan dari praktis perkembangan interdisiplin seniman kontemporer dari pameran Benzig ini menjadi catatan tersendiri dalam membangun dialog seni rupa kepada kalangan yang lebih luas. Selamat melakukan pembacaan dan pencernaan visual.
Wiwik Sri Wulandari
Mahasiswi Magister Seni Rupa ITB 2006.
Kini di era industri kapitalisme ini, semangat propaganda itu telah menyatu dalam keseharian kita, bahkan kita hidup dalam dunia hiperealitas yang tak terhindarkan lagi. Kita diselubungi oleh kekuatan halus propaganda media iklan (media cetak, TV, Radio, internet, media cetak luar ruang,dll) yang secara lambat namun pasti mempengaruhi ruang bawah sadar kita hampir setiap detik hidup keseharian kita. Bahkan hidup kita telah dituntun oleh citra-citra yang tergambar dalam layar imagi yang terekam dalam segala potensi dasar indera kita dari media iklan propaganda tersebut. Image seorang perempuan adalah ia yang berambut lurus, panjang, berkulit mulus, putih, tak berjerawat, bertubuh langsing, harum, dan lain sebagainya. Jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya semangat yang terselubung di dalamnya adalah upaya homogenitas citra yang berujung pada strategi ekonomi-politik kapitalisme industri itu sendiri. Tentu bagi yang bijak dan tanggap, semua akan tergantung pada kecerdasan kita ‘membaca dan mencerna’ berbagai serangan propaganda media tersebut. Betapa dunia hiperealitas ini telah menyatu dalam keseharian kita.
Perupa Beni Sasmito ‘Benzig’ yang saat ini sedang melanjutkan studinya di Magister Seni Rupa ITB ini, menangkap ‘potensi propaganda’ ini sebagai perayaan visual yang potensial dalam menanamkan image tertentu kepada para pemirsa. Ia mengkonstruksi sebuah ‘Simulasi Negara’ yang ia sebut sebagai proyek “Simulasi Negara Dunia Ketiga”. Ia ingin membangun sebuah imagenya sendiri tentang konsep negara dalam karya-karyanya, ia sedang melakukan perayaan parodi tanda-tanda visual, ia sedang menanamkan ideologinya tentang bagaimana konsep negara dunia ketiga melalui penguasaan bahasa metafornya. Walaupun tampak bernuansa politik dengan meminjam sejumlah tanda-tanda visual konsep propaganda politik negara tertentu, namun tersembunyi semangat Pop Art yang cukup dapat dibaca dan dikenali. Upaya memakai dan meminjam tanda-tanda visual ‘lain’ merupakan salah satu perayaan budaya visual postmodern sekaligus upaya mempertemukan seni rupa elitis dan seni rupa publik.
Kesadaran membangun ide perihal citra-citra tanda visual dalam sebuah tema besar simulasi negara dunia ketiga ini sedikit banyak dipengaruhi oleh hasil dari berbagai studi visualnya atas berbagai citraan visual terutama poster dari masa revolusi kebudayaan Cina dan poster-poster Rusia masa Uni Soviet berdiri dan wacana geopolitiknya terhadap negara-negara pascakolonialis seperti halnya Indonesia dan negara-negara yang secara politik sedang bergejolak. Sejauh mana konsep visual dan ideologinya akan dibaca dan ditafsir secara komprehensif oleh dua orang essay contributor yaitu Prof. Dr. Bambang Sugiharto (dosen, guru besar filsafat Universitas Parahyangan Bandung sebagai penelaah filsafat dan seni rupa) dan Hawe Setiawan (jurnalis, penulis lepas dan pemerhati seni rupa) dalam tulisan katalog pamerannya.
Menariknya lagi bahwa pameran tunggal Beni Sasmito ‘Benzig’ ini akan memberi ruang untuk sejumlah pertanyaan dalam forum dialog yang diadakan dari tanggal 21 – 25 Januari 2008, setiap pukul 15.00-17.00 WIB. Dengan demikian paling tidak, satu dari tujuan program yang diselenggarakan oleh Butonkultur21 yaitu mengembangkan riset, produksi dan distribusi seni baru yang dilahirkan dari praktis perkembangan interdisiplin seniman kontemporer dari pameran Benzig ini menjadi catatan tersendiri dalam membangun dialog seni rupa kepada kalangan yang lebih luas. Selamat melakukan pembacaan dan pencernaan visual.
Wiwik Sri Wulandari
Mahasiswi Magister Seni Rupa ITB 2006.