Friday, September 12, 2008
Wednesday, March 12, 2008
Membaca Pop Gerabah
Pop Gerabah Miyuki Anai: Kontemplasi Budaya untuk Indonesia
Trend pameran keramik akhir-akhir ini marak diramaikan oleh genre keramik figuratif, namun kali ini penonton agak disuguhi penampilan yang berbeda. Melalui medium pottery, Miyuki Anai seorang perupa keramik Jepang menggelar Pameran Tunggal di Potluck Coffee Bar and Library, Jl Haji Wasid No. 31 Bandung dari tanggal 1 – 15 Maret 2008. Karya-karya keramik yang dipamerkan ini meminjam teknik keramik gerabah tradisional dengan pembakaran bersuhu rendah yang diwujudkan dalam bentuk visual baru disertai pemaknaan baru, karenanya Miyuki menamainya dengan sebutan Pop Gerabah.
Ada sejumlah catatan yang terekam ketika mengamati karya-karya Pop Gerabah Miyuki Anai ini. Pertama, kehadiran karya seni dipengaruhi oleh siapa seniman pembuatnya dan latar belakang penciptaan ide. Seluruh karya yang disajikan Miyuki Anai adalah sejumlah 22 karya terbagi dalam 17 karya dengan medium keramik -bahan tanah liat, keramik, ceramik on decal disertai 5 karya drawing dengan teknik charcoal on paper. Karya-karya tersebut dibuat oleh tangan seorang Miyuki Anai yang notabene adalah warga negara Jepang yang telah tinggal beberapa tahun dan mengamati berbagai corak, sifat dan khazanah gerabah tradisional Indonesia. Ada keterkejutan budaya yang berbeda, dimana budaya mengapresiasi keramik atau benda-benda keramik tradisi buatan tangan sangatlah dihargai di negeri Sakura itu, sedangkan di Indonesia kondisi ini sangat jauh berbeda. Bahkan ketika pengamatan Miyuki meneropong ke wilayah desa-desa gerabah di pulau Jawa dan berbagai daerah lain di Indonesia mungkin diperkirakan akan kehilangan masyarakat penyangga karena lemahnya apresiasi dan attitude menjaga keberlangsungan tradisi. Selain itu, dalam ide yang sedikit berbeda, ia mengamati bahwa kebudayaan daerah di Indonesia ini memiliki keunikan dan kekayaan yang luar biasa, namun oleh karena kehadiran kebudayaan agama-agama modern dan proses modernisasi yang masuk ke Indonesia, menjadikan kebudayaan tradisi tereduksi dan mengalami dilema atas adaptasi budaya baru. Mungkin alasan ini terkesan sederhana, namun inilah wujud keterkejutan budaya yang justru membuat rajutan makna tersendiri baginya selama berada di Indonesia dalam rangka pekerjaan dan studi, sehingga melahirkan bentuk visual baru dalam sejumlah karyanya yang berjudul Gerabah Modern, Koteka Modern, Tea pot & Cup, dan sebagian karya drawingnya di atas kertas. Bagi kita, ide bersahaja ini justru menjadi ironis, karena ide dan gagasan untuk kembali menengok dan mempertahankan tradisi ini disuarakan oleh kawan kita dari Jepang. Sebuah bentuk kontemplasi budaya untuk Indonesia yang didengungkan Miyuki Anai melalui karya-karyanya.
Kedua, permainan visual dan keunikan pemilihan ikon. Ketika menilik karya yang berjudul Koteka Modern, secara visual tentu akan memancing senyum kita sejenak. Bagaimana mungkin koteka terbuat dari bahan keramik, permukaannya dihias sedemikian rupa, terlihat ganjil dan tak masuk akal? Dalam keganjilan kehadirannya, karya ini membawa unsur parodi dan ironi tersendiri. Parodi dalam pengertiannya yaitu mengadopsi teks, karya, atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat dari duplikasi, revivalisme, atau rekonstruksi – sebagai ungkapan dari kritik, sindiran, kecaman – sebagai ungkapan dari ketidakpuasan atau sekedar ungkapan rasa humor. Karya ini mengandung parodi karena Miyuki tiba-tiba mengusung kembali ikon tradisi Papua tersebut dalam konteks sekarang dan ia menggarapnya dengan sentuhan warna dan simbol tertentu dengan gagasan mengkritisi kembali tradisi yang dikhawatirkan lenyap tergilas oleh roda-roda modernisasi. Di sisi lain, menurut catatan pembacaan seorang keramikus, kurator sekaligus Dosen FSRD ITB, Asmudjo J. Irianto dalam katalog Pameran Pop Gerabah Miyuki Anai, karya ini menjadi sedemikian ironi karena koteka modern memberi makna konotatif bahwa terdapat sejumlah masalah dalam adaptasi gaya hidup modern. Perubahan dan penetrasi gaya hidup modern yang sedemikian cepat menghasilkan tatanan kehidupan modern Indonesia yang jauh dari mature.
Catatan ketiga agaknya adalah adanya muatan simbolik dalam karya-karya Miyuki. Pada karya yang lain Miyuki menampilkan karya berjudul Modern Gerabah. Secara visual tampilan karya ini tidak jauh berbeda dengan gerabah tradisional umumnya baik secara bentuk, namun menariknya, Miyuki memakai bahan keramik dan menambah sejumlah unsur warna serta bentuk-bentuk visual di permukaannya. Karya Modern Gerabah ini berjumlah sembilan buah dan setiap unsurnya ia beri sentuhan simbol-simbol kebudayaan. Bentuk-bentuk wadah seperti tempayan air besar dan kecil tersebut agaknya tidak difungsikan sebagai wadah yang sebenarnya, namun lebih bernilai simbolik di dalamnya. Dalam catatan selanjutnya, Asmudjo J. Irianto membaca bahwa bentuk dasar wadah itu sendiri merepresentasikan lapisan makna, di antaranya persoalan kehadirannya sendiri – lenyapnya tradisi gerabah. Selain itu wadah tersebut dapat dianalogikan sebagai ’ruang kebudayaan’ tempat manusia berinteraksi.
Keempat, medium gerabah menjadi medium penyadaran. Dalam karya berjudul Gerabah 2, Miyuki dengan sengaja mengusung bahan tanah liat dan membuatnya dengan teknik pembakaran bersuhu rendah, seperti lazimnya pembuatan gerabah tradisi nusantara. Ukuran karya ini relatif besar, namun menariknya ia menambahkan unsur-unsur visual seperti berbagai macam alat perabot yang terbuat dari tanah liat di atas permukaannya. Karya ini agaknya menjadi karya terbesar di antara karya-karya yang lain oleh karena ukurannya. Kendati demikian karya ini memiliki muatan makna yang berbeda, karena unsur-unsur visual pembentuknya turut memberi tanda pembacaan tersendiri. Jika dicermati, di balik karya ini ada muatan ’kegelisahan’ Miyuki membaca keberlangsungan kehidupan desa-desa gerabah Indonesia yang kian tidak mendapat tempat di masyarakat. Alat-alat perabot rumah tangga berbahan tanah liat telah ditinggalkan, dan seiring dengan itu desa-desa penghasil gerabah di nusantara pun lambat laun diperkirakan akan tergeser sejalan dengan kemajuan industri peralatan modern dan proses modernisasi sendiri. Sebagai seniman keramik yang hidup dan tumbuh di Jepang, baginya dan masyarakat Jepang, tradisi atau kebudayaan merupakan pondasi yang kuat untuk memposisikan identitas dalam perubahan zaman. Kendati modernisasi di Jepang mengalami pengaruh budaya Barat namun tetap dihidupi oleh kesadaran dan kemauan masyarakat Jepang menjaga tradisi dan terus meng-up date-nya dalam kehidupan modern. Produksi keramik tradisi pun masih terjaga hingga kini dan terus memiliki masyarakat penyangga. Salah satu bentuk penghargaan dan kecintaan mereka adalah dengan menggunakan benda-benda keramik non-pabrikan (hand made) untuk kehidupan sehari-hari. Kondisi ini agaknya tidak dijumpai Miyuki selama berada di Indonesia. Melalui karya ini Miyuki ingin membuat penyadaran baru bahwa tradisi tidak selalu harus berada di masa lalu, tradisi yang kaya dari khazanah budaya Indonesia ini dapat disisipkan, disintesakan pada kehidupan modern. Tradisi masih terus menjadi spirit dan identitas kultural setiap individu jika diambil nilai-nilainya untuk kemudian di-up date dalam bentuk-bentuk baru. Tentu saja untuk mengapresiasi karya-karya modern berbasis tradisi ini diperlukan masyarakat penyangga dan apresiator agar terus hidup. Harapannya, masyarakat kota atau menengah ke atas dapat menjadi penyangga bagi produksi barang-barang yang dibuat di desa-desa.
Menilik karya-karya Miyuki dalam pameran ini secara keseluruhan, kita dibawa untuk sejenak berkontemplasi terhadap kekayaan khazanah budaya dan tradisi Indonesia yang sedemikian kaya yang dapat dikembangkan, dijaga keberlangsungannya dan disintesakan sesuai dengan konteks zaman. Potensi sumber daya alam dan kesenian Indonesia ini melimpah ruah sehingga diperlukan kreativitas, manajemen dan strategi mengolah potensi tersebut secara berkelanjutan. Dalam konteks seni rupa, karya Miyuki Anai ini memberi nilai rujukan lain dalam memperkaya ide dan medium seni rupa dalam perkembangan seni rupa kontemporer akhir-akhir ini. Selamat mengapresiasi.
Wiwik Sri Wulandari, S.Sn.
Mahasiswi Magister Seni Rupa ITB
Trend pameran keramik akhir-akhir ini marak diramaikan oleh genre keramik figuratif, namun kali ini penonton agak disuguhi penampilan yang berbeda. Melalui medium pottery, Miyuki Anai seorang perupa keramik Jepang menggelar Pameran Tunggal di Potluck Coffee Bar and Library, Jl Haji Wasid No. 31 Bandung dari tanggal 1 – 15 Maret 2008. Karya-karya keramik yang dipamerkan ini meminjam teknik keramik gerabah tradisional dengan pembakaran bersuhu rendah yang diwujudkan dalam bentuk visual baru disertai pemaknaan baru, karenanya Miyuki menamainya dengan sebutan Pop Gerabah.
Ada sejumlah catatan yang terekam ketika mengamati karya-karya Pop Gerabah Miyuki Anai ini. Pertama, kehadiran karya seni dipengaruhi oleh siapa seniman pembuatnya dan latar belakang penciptaan ide. Seluruh karya yang disajikan Miyuki Anai adalah sejumlah 22 karya terbagi dalam 17 karya dengan medium keramik -bahan tanah liat, keramik, ceramik on decal disertai 5 karya drawing dengan teknik charcoal on paper. Karya-karya tersebut dibuat oleh tangan seorang Miyuki Anai yang notabene adalah warga negara Jepang yang telah tinggal beberapa tahun dan mengamati berbagai corak, sifat dan khazanah gerabah tradisional Indonesia. Ada keterkejutan budaya yang berbeda, dimana budaya mengapresiasi keramik atau benda-benda keramik tradisi buatan tangan sangatlah dihargai di negeri Sakura itu, sedangkan di Indonesia kondisi ini sangat jauh berbeda. Bahkan ketika pengamatan Miyuki meneropong ke wilayah desa-desa gerabah di pulau Jawa dan berbagai daerah lain di Indonesia mungkin diperkirakan akan kehilangan masyarakat penyangga karena lemahnya apresiasi dan attitude menjaga keberlangsungan tradisi. Selain itu, dalam ide yang sedikit berbeda, ia mengamati bahwa kebudayaan daerah di Indonesia ini memiliki keunikan dan kekayaan yang luar biasa, namun oleh karena kehadiran kebudayaan agama-agama modern dan proses modernisasi yang masuk ke Indonesia, menjadikan kebudayaan tradisi tereduksi dan mengalami dilema atas adaptasi budaya baru. Mungkin alasan ini terkesan sederhana, namun inilah wujud keterkejutan budaya yang justru membuat rajutan makna tersendiri baginya selama berada di Indonesia dalam rangka pekerjaan dan studi, sehingga melahirkan bentuk visual baru dalam sejumlah karyanya yang berjudul Gerabah Modern, Koteka Modern, Tea pot & Cup, dan sebagian karya drawingnya di atas kertas. Bagi kita, ide bersahaja ini justru menjadi ironis, karena ide dan gagasan untuk kembali menengok dan mempertahankan tradisi ini disuarakan oleh kawan kita dari Jepang. Sebuah bentuk kontemplasi budaya untuk Indonesia yang didengungkan Miyuki Anai melalui karya-karyanya.
Kedua, permainan visual dan keunikan pemilihan ikon. Ketika menilik karya yang berjudul Koteka Modern, secara visual tentu akan memancing senyum kita sejenak. Bagaimana mungkin koteka terbuat dari bahan keramik, permukaannya dihias sedemikian rupa, terlihat ganjil dan tak masuk akal? Dalam keganjilan kehadirannya, karya ini membawa unsur parodi dan ironi tersendiri. Parodi dalam pengertiannya yaitu mengadopsi teks, karya, atau gaya masa lalu sebagai titik berangkat dari duplikasi, revivalisme, atau rekonstruksi – sebagai ungkapan dari kritik, sindiran, kecaman – sebagai ungkapan dari ketidakpuasan atau sekedar ungkapan rasa humor. Karya ini mengandung parodi karena Miyuki tiba-tiba mengusung kembali ikon tradisi Papua tersebut dalam konteks sekarang dan ia menggarapnya dengan sentuhan warna dan simbol tertentu dengan gagasan mengkritisi kembali tradisi yang dikhawatirkan lenyap tergilas oleh roda-roda modernisasi. Di sisi lain, menurut catatan pembacaan seorang keramikus, kurator sekaligus Dosen FSRD ITB, Asmudjo J. Irianto dalam katalog Pameran Pop Gerabah Miyuki Anai, karya ini menjadi sedemikian ironi karena koteka modern memberi makna konotatif bahwa terdapat sejumlah masalah dalam adaptasi gaya hidup modern. Perubahan dan penetrasi gaya hidup modern yang sedemikian cepat menghasilkan tatanan kehidupan modern Indonesia yang jauh dari mature.
Catatan ketiga agaknya adalah adanya muatan simbolik dalam karya-karya Miyuki. Pada karya yang lain Miyuki menampilkan karya berjudul Modern Gerabah. Secara visual tampilan karya ini tidak jauh berbeda dengan gerabah tradisional umumnya baik secara bentuk, namun menariknya, Miyuki memakai bahan keramik dan menambah sejumlah unsur warna serta bentuk-bentuk visual di permukaannya. Karya Modern Gerabah ini berjumlah sembilan buah dan setiap unsurnya ia beri sentuhan simbol-simbol kebudayaan. Bentuk-bentuk wadah seperti tempayan air besar dan kecil tersebut agaknya tidak difungsikan sebagai wadah yang sebenarnya, namun lebih bernilai simbolik di dalamnya. Dalam catatan selanjutnya, Asmudjo J. Irianto membaca bahwa bentuk dasar wadah itu sendiri merepresentasikan lapisan makna, di antaranya persoalan kehadirannya sendiri – lenyapnya tradisi gerabah. Selain itu wadah tersebut dapat dianalogikan sebagai ’ruang kebudayaan’ tempat manusia berinteraksi.
Keempat, medium gerabah menjadi medium penyadaran. Dalam karya berjudul Gerabah 2, Miyuki dengan sengaja mengusung bahan tanah liat dan membuatnya dengan teknik pembakaran bersuhu rendah, seperti lazimnya pembuatan gerabah tradisi nusantara. Ukuran karya ini relatif besar, namun menariknya ia menambahkan unsur-unsur visual seperti berbagai macam alat perabot yang terbuat dari tanah liat di atas permukaannya. Karya ini agaknya menjadi karya terbesar di antara karya-karya yang lain oleh karena ukurannya. Kendati demikian karya ini memiliki muatan makna yang berbeda, karena unsur-unsur visual pembentuknya turut memberi tanda pembacaan tersendiri. Jika dicermati, di balik karya ini ada muatan ’kegelisahan’ Miyuki membaca keberlangsungan kehidupan desa-desa gerabah Indonesia yang kian tidak mendapat tempat di masyarakat. Alat-alat perabot rumah tangga berbahan tanah liat telah ditinggalkan, dan seiring dengan itu desa-desa penghasil gerabah di nusantara pun lambat laun diperkirakan akan tergeser sejalan dengan kemajuan industri peralatan modern dan proses modernisasi sendiri. Sebagai seniman keramik yang hidup dan tumbuh di Jepang, baginya dan masyarakat Jepang, tradisi atau kebudayaan merupakan pondasi yang kuat untuk memposisikan identitas dalam perubahan zaman. Kendati modernisasi di Jepang mengalami pengaruh budaya Barat namun tetap dihidupi oleh kesadaran dan kemauan masyarakat Jepang menjaga tradisi dan terus meng-up date-nya dalam kehidupan modern. Produksi keramik tradisi pun masih terjaga hingga kini dan terus memiliki masyarakat penyangga. Salah satu bentuk penghargaan dan kecintaan mereka adalah dengan menggunakan benda-benda keramik non-pabrikan (hand made) untuk kehidupan sehari-hari. Kondisi ini agaknya tidak dijumpai Miyuki selama berada di Indonesia. Melalui karya ini Miyuki ingin membuat penyadaran baru bahwa tradisi tidak selalu harus berada di masa lalu, tradisi yang kaya dari khazanah budaya Indonesia ini dapat disisipkan, disintesakan pada kehidupan modern. Tradisi masih terus menjadi spirit dan identitas kultural setiap individu jika diambil nilai-nilainya untuk kemudian di-up date dalam bentuk-bentuk baru. Tentu saja untuk mengapresiasi karya-karya modern berbasis tradisi ini diperlukan masyarakat penyangga dan apresiator agar terus hidup. Harapannya, masyarakat kota atau menengah ke atas dapat menjadi penyangga bagi produksi barang-barang yang dibuat di desa-desa.
Menilik karya-karya Miyuki dalam pameran ini secara keseluruhan, kita dibawa untuk sejenak berkontemplasi terhadap kekayaan khazanah budaya dan tradisi Indonesia yang sedemikian kaya yang dapat dikembangkan, dijaga keberlangsungannya dan disintesakan sesuai dengan konteks zaman. Potensi sumber daya alam dan kesenian Indonesia ini melimpah ruah sehingga diperlukan kreativitas, manajemen dan strategi mengolah potensi tersebut secara berkelanjutan. Dalam konteks seni rupa, karya Miyuki Anai ini memberi nilai rujukan lain dalam memperkaya ide dan medium seni rupa dalam perkembangan seni rupa kontemporer akhir-akhir ini. Selamat mengapresiasi.
Wiwik Sri Wulandari, S.Sn.
Mahasiswi Magister Seni Rupa ITB
Monday, January 28, 2008
Seni Rupa Poster Benzig
PARODI SIMULASI ALA BENZIG
Review atas Pameran Seni Rupa Beni Sasmito ’Benzig’
(Artikel ini dimuat di rubrik Khazanah, Harian Pikiran Rakyat Bandung, 26 Januari 2008, hal.31)
Di tengah hingar-bingarnya negara ini membicarakan kabar kondisi kesehatan mantan presiden kedua terkuat republik ini yang semakin meng-’kritis’, dan diantara persoalan bangsa ini yang diusik rasa ‘nasionalisme’-nya oleh karena persoalan klaim-klaim negara tetangga terhadap hak kekayaan intelektual kita, seorang perupa Bandung, Beni Sasmito ‘Benzig’ sedang menggelar pameran tunggal ketiganya bertajuk “Alarm-Sistem Peringatan Dini” di ruang pameran Butonkultur21 Bandung tanggal 18 – 25 Januari 2008 mendatang. Pameran ini akan memajang 35 karya serta 1 album portofolio. Acara pembukaan pameran akan berlangsung Jumat, 18 Januari 2008 pukul 19.00-21.00 WIB di ruang pameran Butonkultur21, Jln. Buton 12 Bandung. Pameran dibuka dari Senin hingga Sabtu, 10.00-17.00 WIB, termasuk forum dialog dari Senin hingga Jumat, 15.00-17.00 WIB.
Sebuah permainan parodi tersaji dalam karya yang di dalamnya terdapat teks yang menyatakan "Pemimpin Revolusi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata". Daya tarik visual karya tersebut menampilkan wajah si perupa sendiri sebagai subject matter yang sangat kuat tertampilkan menggantikan figur utama Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi. Karya ini adalah parodi imaji presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang dipinjam oleh Beni Sasmito, perupa yang akrab dipanggil Benzig ini sebagai bahasa metafor salah satu karya visualnya. Pada karya yang lain muncul tulisan "madjoe troes pantang moendoer" yang dengan mudah dapat diketahui bahwa Benzig telah ‘mencomot’ slogan perjuangan bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan.
Review atas Pameran Seni Rupa Beni Sasmito ’Benzig’
(Artikel ini dimuat di rubrik Khazanah, Harian Pikiran Rakyat Bandung, 26 Januari 2008, hal.31)
Di tengah hingar-bingarnya negara ini membicarakan kabar kondisi kesehatan mantan presiden kedua terkuat republik ini yang semakin meng-’kritis’, dan diantara persoalan bangsa ini yang diusik rasa ‘nasionalisme’-nya oleh karena persoalan klaim-klaim negara tetangga terhadap hak kekayaan intelektual kita, seorang perupa Bandung, Beni Sasmito ‘Benzig’ sedang menggelar pameran tunggal ketiganya bertajuk “Alarm-Sistem Peringatan Dini” di ruang pameran Butonkultur21 Bandung tanggal 18 – 25 Januari 2008 mendatang. Pameran ini akan memajang 35 karya serta 1 album portofolio. Acara pembukaan pameran akan berlangsung Jumat, 18 Januari 2008 pukul 19.00-21.00 WIB di ruang pameran Butonkultur21, Jln. Buton 12 Bandung. Pameran dibuka dari Senin hingga Sabtu, 10.00-17.00 WIB, termasuk forum dialog dari Senin hingga Jumat, 15.00-17.00 WIB.
Sebuah permainan parodi tersaji dalam karya yang di dalamnya terdapat teks yang menyatakan "Pemimpin Revolusi Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata". Daya tarik visual karya tersebut menampilkan wajah si perupa sendiri sebagai subject matter yang sangat kuat tertampilkan menggantikan figur utama Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi. Karya ini adalah parodi imaji presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno yang dipinjam oleh Beni Sasmito, perupa yang akrab dipanggil Benzig ini sebagai bahasa metafor salah satu karya visualnya. Pada karya yang lain muncul tulisan "madjoe troes pantang moendoer" yang dengan mudah dapat diketahui bahwa Benzig telah ‘mencomot’ slogan perjuangan bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan.
Tampilan visual yang menonjol dalam sejumlah 35 karya-karya Benzig ini menunjukkan ragam semangat ‘heroisme’, ‘patriotisme’ dan kebangsaan seperti dalam sajian poster-poster propaganda ala sosialisme Cina, Jerman, atau Rusia. Hal ini akan mengingatkan memori penonton pada upaya pencitraan tokoh atau figur, semangat, ideologi tertentu pada suatu komunitas atau negara tertentu jika mengacu pada poster-poster propaganda negara sosialis. Media seni rupa digunakan sebagai ‘corong’ politik sekaligus strategi visual tertentu demi menanamkan suatu ideologi yang terpimpin (seperti ideologi Nazi di Jerman, Stalinis di Rusia). Tak dapat dipungkiri lagi bahwa kekuatan ideologi visual memiliki potensi luar biasa dalam memompa pengaruh kesadaran maupun bawah sadar seseorang, jika diproduksi secara maha dasyat juga.
Kini di era industri kapitalisme ini, semangat propaganda itu telah menyatu dalam keseharian kita, bahkan kita hidup dalam dunia hiperealitas yang tak terhindarkan lagi. Kita diselubungi oleh kekuatan halus propaganda media iklan (media cetak, TV, Radio, internet, media cetak luar ruang,dll) yang secara lambat namun pasti mempengaruhi ruang bawah sadar kita hampir setiap detik hidup keseharian kita. Bahkan hidup kita telah dituntun oleh citra-citra yang tergambar dalam layar imagi yang terekam dalam segala potensi dasar indera kita dari media iklan propaganda tersebut. Image seorang perempuan adalah ia yang berambut lurus, panjang, berkulit mulus, putih, tak berjerawat, bertubuh langsing, harum, dan lain sebagainya. Jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya semangat yang terselubung di dalamnya adalah upaya homogenitas citra yang berujung pada strategi ekonomi-politik kapitalisme industri itu sendiri. Tentu bagi yang bijak dan tanggap, semua akan tergantung pada kecerdasan kita ‘membaca dan mencerna’ berbagai serangan propaganda media tersebut. Betapa dunia hiperealitas ini telah menyatu dalam keseharian kita.
Perupa Beni Sasmito ‘Benzig’ yang saat ini sedang melanjutkan studinya di Magister Seni Rupa ITB ini, menangkap ‘potensi propaganda’ ini sebagai perayaan visual yang potensial dalam menanamkan image tertentu kepada para pemirsa. Ia mengkonstruksi sebuah ‘Simulasi Negara’ yang ia sebut sebagai proyek “Simulasi Negara Dunia Ketiga”. Ia ingin membangun sebuah imagenya sendiri tentang konsep negara dalam karya-karyanya, ia sedang melakukan perayaan parodi tanda-tanda visual, ia sedang menanamkan ideologinya tentang bagaimana konsep negara dunia ketiga melalui penguasaan bahasa metafornya. Walaupun tampak bernuansa politik dengan meminjam sejumlah tanda-tanda visual konsep propaganda politik negara tertentu, namun tersembunyi semangat Pop Art yang cukup dapat dibaca dan dikenali. Upaya memakai dan meminjam tanda-tanda visual ‘lain’ merupakan salah satu perayaan budaya visual postmodern sekaligus upaya mempertemukan seni rupa elitis dan seni rupa publik.
Kesadaran membangun ide perihal citra-citra tanda visual dalam sebuah tema besar simulasi negara dunia ketiga ini sedikit banyak dipengaruhi oleh hasil dari berbagai studi visualnya atas berbagai citraan visual terutama poster dari masa revolusi kebudayaan Cina dan poster-poster Rusia masa Uni Soviet berdiri dan wacana geopolitiknya terhadap negara-negara pascakolonialis seperti halnya Indonesia dan negara-negara yang secara politik sedang bergejolak. Sejauh mana konsep visual dan ideologinya akan dibaca dan ditafsir secara komprehensif oleh dua orang essay contributor yaitu Prof. Dr. Bambang Sugiharto (dosen, guru besar filsafat Universitas Parahyangan Bandung sebagai penelaah filsafat dan seni rupa) dan Hawe Setiawan (jurnalis, penulis lepas dan pemerhati seni rupa) dalam tulisan katalog pamerannya.
Menariknya lagi bahwa pameran tunggal Beni Sasmito ‘Benzig’ ini akan memberi ruang untuk sejumlah pertanyaan dalam forum dialog yang diadakan dari tanggal 21 – 25 Januari 2008, setiap pukul 15.00-17.00 WIB. Dengan demikian paling tidak, satu dari tujuan program yang diselenggarakan oleh Butonkultur21 yaitu mengembangkan riset, produksi dan distribusi seni baru yang dilahirkan dari praktis perkembangan interdisiplin seniman kontemporer dari pameran Benzig ini menjadi catatan tersendiri dalam membangun dialog seni rupa kepada kalangan yang lebih luas. Selamat melakukan pembacaan dan pencernaan visual.
Wiwik Sri Wulandari
Mahasiswi Magister Seni Rupa ITB 2006.
Kini di era industri kapitalisme ini, semangat propaganda itu telah menyatu dalam keseharian kita, bahkan kita hidup dalam dunia hiperealitas yang tak terhindarkan lagi. Kita diselubungi oleh kekuatan halus propaganda media iklan (media cetak, TV, Radio, internet, media cetak luar ruang,dll) yang secara lambat namun pasti mempengaruhi ruang bawah sadar kita hampir setiap detik hidup keseharian kita. Bahkan hidup kita telah dituntun oleh citra-citra yang tergambar dalam layar imagi yang terekam dalam segala potensi dasar indera kita dari media iklan propaganda tersebut. Image seorang perempuan adalah ia yang berambut lurus, panjang, berkulit mulus, putih, tak berjerawat, bertubuh langsing, harum, dan lain sebagainya. Jika dicermati lebih dalam, sesungguhnya semangat yang terselubung di dalamnya adalah upaya homogenitas citra yang berujung pada strategi ekonomi-politik kapitalisme industri itu sendiri. Tentu bagi yang bijak dan tanggap, semua akan tergantung pada kecerdasan kita ‘membaca dan mencerna’ berbagai serangan propaganda media tersebut. Betapa dunia hiperealitas ini telah menyatu dalam keseharian kita.
Perupa Beni Sasmito ‘Benzig’ yang saat ini sedang melanjutkan studinya di Magister Seni Rupa ITB ini, menangkap ‘potensi propaganda’ ini sebagai perayaan visual yang potensial dalam menanamkan image tertentu kepada para pemirsa. Ia mengkonstruksi sebuah ‘Simulasi Negara’ yang ia sebut sebagai proyek “Simulasi Negara Dunia Ketiga”. Ia ingin membangun sebuah imagenya sendiri tentang konsep negara dalam karya-karyanya, ia sedang melakukan perayaan parodi tanda-tanda visual, ia sedang menanamkan ideologinya tentang bagaimana konsep negara dunia ketiga melalui penguasaan bahasa metafornya. Walaupun tampak bernuansa politik dengan meminjam sejumlah tanda-tanda visual konsep propaganda politik negara tertentu, namun tersembunyi semangat Pop Art yang cukup dapat dibaca dan dikenali. Upaya memakai dan meminjam tanda-tanda visual ‘lain’ merupakan salah satu perayaan budaya visual postmodern sekaligus upaya mempertemukan seni rupa elitis dan seni rupa publik.
Kesadaran membangun ide perihal citra-citra tanda visual dalam sebuah tema besar simulasi negara dunia ketiga ini sedikit banyak dipengaruhi oleh hasil dari berbagai studi visualnya atas berbagai citraan visual terutama poster dari masa revolusi kebudayaan Cina dan poster-poster Rusia masa Uni Soviet berdiri dan wacana geopolitiknya terhadap negara-negara pascakolonialis seperti halnya Indonesia dan negara-negara yang secara politik sedang bergejolak. Sejauh mana konsep visual dan ideologinya akan dibaca dan ditafsir secara komprehensif oleh dua orang essay contributor yaitu Prof. Dr. Bambang Sugiharto (dosen, guru besar filsafat Universitas Parahyangan Bandung sebagai penelaah filsafat dan seni rupa) dan Hawe Setiawan (jurnalis, penulis lepas dan pemerhati seni rupa) dalam tulisan katalog pamerannya.
Menariknya lagi bahwa pameran tunggal Beni Sasmito ‘Benzig’ ini akan memberi ruang untuk sejumlah pertanyaan dalam forum dialog yang diadakan dari tanggal 21 – 25 Januari 2008, setiap pukul 15.00-17.00 WIB. Dengan demikian paling tidak, satu dari tujuan program yang diselenggarakan oleh Butonkultur21 yaitu mengembangkan riset, produksi dan distribusi seni baru yang dilahirkan dari praktis perkembangan interdisiplin seniman kontemporer dari pameran Benzig ini menjadi catatan tersendiri dalam membangun dialog seni rupa kepada kalangan yang lebih luas. Selamat melakukan pembacaan dan pencernaan visual.
Wiwik Sri Wulandari
Mahasiswi Magister Seni Rupa ITB 2006.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Painting and Printmaking Artworks of Me
Wiwik S. Wulandari, Stop Food Over Consumption , Acrylic on canvas ( painting ), 60x80cm, 2021 Karya ini telah dipamerkan dalam Agenda In...
-
2010 As the Speaker of international Urban Research Plaza Seminar in Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia which titled : Distro...
-
Agenda penting 5 tahunan untuk Prodi Seni Rupa Murni FSR ISI Yogyakarta telah diselenggarakan Visitasi assesor BAN PT dalam rangka Akredita...