Eksplorasi Medium dan Kritisisme
Karya-karya Astari Rasjid
(artikel ini dimuat di rubrik Khazanah, Harian Pikiran Rakyat Bandung, 5 Januari 2008, hal 31).
by Wiwik S. Wulandari
by Wiwik S. Wulandari
Abstract
Mempersoalkan kembali identitas adalah salah satu wacana yang menjadi pembahasan dalam agenda postmodernisme global. Persoalan tradisi yang dipertanyakan kembali ini juga menjadi ide dasar yang melatar belakangi karya-karya Astari Rasjid. Menarik untuk dibaca dan diinterpretasi karena tidak hanya persoalan gagasan mengenai mempertanyakan kembali identitas, namun juga bagaimana eksplorasi medium yang digunakan Astari Rasjid menjadi ’bahasa’ yang semakin memperkaya kosarupa kesenian.
Prolog
Perjalanan dunia seni rupa Indonesia semakin menampakkan jati diri dan eksistensinya dalam konteks global dan internasional. Peran-peran aktif dan pro-aktif yang dibawakan oleh para perupa, kritikus, infrastuktur kesenian melalui peristiwa-peristiwa kesenian tingkat Asia maupun Internasional memberikan kontribusi dalam menampilkan wacana budaya, kreativitas serta pemikiran yang sedang berkembang di Indonesia. Salah satu peran yang tidak kalah penting untuk dicatat dan dimaknai adalah peranan para perupa baik itu laki-laki maupun perempuan dalam kancah seni rupa. Kemunculan peran perupa perempuan Indonesia tercatat sejak dekade 1990-an hingga saat ini semakin menunjukkan eksistensi baik dari segi kuantitas maupun kualitas karya. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui keikutsertaan para perupa perempuan Indonesia dalam event atau peristiwa seni rupa sampai di tingkat Asia maupun Internasional.
Membaca Karya Astari Rasjid
Salah satu perupa perempuan yang semakin menunjukkan kuantitas serta kualitas karya-karyanya adalah Astari Rasjid. Apa yang melatar belakangi pemilihan perupa dalam penulisan ini antara lain bahwa secara faktual kualitas karya dan prestasi seorang Astari Rasjid telah diakui publik dalam berbagai event pameran, kompetisi dan penghargaan baik nasional mupun internasional. Dalam catatan prestasi telah menunjukkan bahwa pada tahun yang sama yaitu tahun 1999, Astari Rasjid telah mendapat penghargaan dari Nokia Indonesia, Phillip Morris Indonesia Arts Award, dan Winsor and Newton’s Award. Seorang penulis dan pengamat seni rupa yaitu Carla Bianpoen mencatat demikian:
Only a decade ago, Astari Rasjid was a notable socialite whose zillion of related activities made it almost impossible to seriously pursue her aspirations as an artist. But firm determination, hard work and zealous endeavour led her to the ranks of recognized contemporary artists. Astari's stunning ascent to prominence was earlier marked by an award in the worldwide contest organised by London based Winsor and Newton. Of the 22,000 entries from 54 countries, Astari's 'No-U Turn' was awarded among the top 20.
Penuturan Carla Bianpoen menunjukkan bahwa Astari Rasjid merupakan salah satu perupa perempuan Indonesia yang memiliki ketekunan, kerja keras dan semangat dalam menghasilkan karya seni rupa sehingga membawanya memperoleh pengakuan sebagai salah satu seniman kontemporer dunia. Winsor and Newton yang merupakan organisasi dunia seni rupa yang bertempat di London, Inggris memberikan penghargaan(Award) kepada Astari Rasjid atas karyanya, dimana diikuti oleh 22.000 peserta dari 54 negara. Ia memperoleh peringkat ke-20 di antaranya. Karya Astari Rasjid yang mendapat penghargaan Winsor and Newton Award 1999 tersebut berjudul “No ‘U’ Turn”, 1998, oil on canvas, 70 x 110 cm. Tidak hanya itu pula, prestasi Astari Rasjid dalam bidang seni rupa sampai dengan saat ini juga terus didapatkannya.
Eksistensi Astari Rasjid dalam percaturan dunia seni rupa Indonesia sebenarnya belumlah lama, karena Astari baru memasuki wilayah seni rupa dan aktif mengikuti pameran bersama dan tunggal sejak tahun 1995 hingga sekarang. Berdasarkan catatan biodata dalam Biennale Jakarta 2006, Astari Rasjid lahir di Jakarta 26 Maret 1953. pada tahun 1957-1959 tinggal di New Delhi, India, tahun 1963-1969 di Ranggon, Burma dan sejak tahun 1976 sampai sekarang menetap kembali di Jakarta. Setelah belajar Sastra Inggris di Universitas Indonesia (1973), dia mengambil sekolah fashion design di London, Inggris (1974-1976). Selanjutnya Astari berkecimpung di bidang mode, termasuk mengelola majalah mode. Pada tahun 1987 Astari melanjutkan belajar seni lukis di University of Minnesota, AS dan kursus seni lukis di Royal College of Art London, Inggris tahun 1988. Dimulai sejak tahun 1995 sampai sekarang, Astari aktif mengikuti pameran bersama maupun tunggal, serta mengikuti berbagai kompetisi seni lukis dan biennale di Jakarta, Bali, New York, Hong Kong, Paris, Beijing, London dan berbagai negara.
Walaupun kemunculan Astari Rasjid di wilayah seni rupa Indonesia masih tergolong muda (satu dekade sampai dengan saat ini), namun nampaknya Astari memiliki bargaining position yang baik dikarenakan kualitas karya-karya serta eksplorasi medium yang digunakannya dalam berolah rupa. Secara visual, Astari tidak hanya menampilkan karya-karya dengan medium seni lukis di atas kanvas saja tetapi ia juga mengusung berbagai macam medium tiga dimensional dalam presentasi karya-karyanya. Di samping secara teknis ia tidak lagi membakukan diri dalam ruang dua dimensional, secara ide atau gagasan Astari juga mengusung tema-tema tradisi Jawa dengan semangat penghormatan sekaligus pertanyaan secara kritis dalam konteks filosofi, tradisi, kedudukan perempuan hingga kekuasaan. Lewat ikon dan simbol tradisi Jawa seperti tari Bedoyo, kursi raja, keris, wayang, pakaian adat, jimat dan lain-lain. Ciri khas lain yang dia munculkan dalam karyanya(terutama seni lukis) antara lain bahwa ia menggunakan model dirinya sendiri sebagai subject matter dalam karya-karya lukisnya.
Ketertarikan penulis menyoroti eksplorasi medium dan kritisisme seorang Astari Rasjid yang pertama didasari atas keberagaman dan kreativitas Astari dalam mengolah teknik dan medium menjadi bahasa rupa yang menarik dan ‘cerdas’ (dalam memadu medium dan gagasan). Astari tidak saja menggunakan medium dua dimensional tetapi juga tiga dimensional dalam menghasilkan karya-karyanya. Melalui tulisan ini akan dipaparkan sebagian kecil dari proses kreatif di balik teknik penciptaan karya rupa Astari Rasjid akan memberi kontribusi dan manfaat tersendiri dalam wacana seni rupa khususnya. Yang kedua adalah aspek gagasan yang melatar belakangi penciptaan karya Astari Rasjid. Mengapa Astari Rasjid tertarik dengan tema-tema tradisi Jawa yang kemudian ia pertanyakan kembali secara filosofi, tradisi, kedudukan perempuan hingga kekuasaan. Kritisisme seperti apa yang ingin diungkapkan Astari ketika melihat tradisi Jawa dalam kehidupan sekitar kita saat ini secara global. Kritisisme Astari dalam kapasitas identitasnya sebagai perempuan, orang Jawa, orang Timur, seniman, sebagai istri dan bagian masyarakat dunia. Proses menemukan gagasan, mengkontekskan dengan pemikiran filosofi dan nilai-nilai yang diyakini oleh Astari Rasjid akan diungkapkan dalam penelitian ini sehingga diharapkan dapat bermanfaat secara lebih komprehensif dalam memaknai dan menilai proses kreatif seorang seniman.
Untuk mengamati secara lebih jelas, alangkah baiknya apabila menengok salah satu karya Astari Rasjid yang diikutsertakannya dalam pameran bertajuk ‘Wearable’ yang dikuratori oleh Rifky Effendi, yang berjudul “Pseudo Security”, variable size, acrylic, resin, yarn, silkscreen, 1999. Secara gagasan atau pemikiran, Astari mengkritisi kembali tentang ‘kain kebaya dan berbagai atributnya’ sebagai pakaian adat Jawa. Dalam karyanya kali ini, Astari mencermati kembali bagian yang terpenting dalam atribut kebaya yaitu long torso atau atribut kebaya yang berfungsi sebagai bra dan pengikat untuk bagian perut wanita. Long torso merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam berkebaya, karena berfungsi untuk memberikan struktur tubuh wanita agar postur tubuh tetap tegak terjaga, lebih berwibawa sekaligus terlihat langsing dan ramping. Selain itu, manfaat yang lain adalah agar si wanita yang menggunakannya terlihat lebih cantik, feminin dan sensual/memiliki daya pesona, namun di sisi lain pengunaan long torso ini membuat wanita tidak bebas bergerak dan terbatas karena ikatan yang ketat melingkari struktur dada, perut dan pinggangnya.
Secara visual ia menggunakan medium tiga dimensional (instalasi) dengan menyuguhkan 9 long torso yang tersaji berderet, terbuat dari bahan acrylic, resin. Pada baris ke-7 uniknya dengan sengaja ia meletakkan long torso seakan terjatuh karena beban yang menggatunginya. Benda-benda yang tergantung di setiap long torso itu digambarkan sebagai atribut penambah daya tarik dan penolak bala dalam berbusana kebaya yaitu jimat, susuk atau aji-ajian, rajah dan untaian doa. Hal ini yang menarik perhatian Astari Rasjid untuk mempertanyakan kembali bagian atribut kebaya Jawa ini dengan segala filosofi yang melatar belakanginya. Dalam pernyataannya sebagai pengantar editorial karya tersebut Astari menyebutkan:
In many social or formal functions, kain-kebaya become the accepted uniform for Indonesian women. The use of kain-kebaya as uniform somehow reflects the collective way of thinking as well as synchronized opinion in order to maintain harmony and a sense of security for the wearer. This sense of false security become the crucial question in critically examining uniformity as a dress code.
Through this "Wearable" exhibition I had an interesting opportunity to closely observe kain-kebaya as uniform, as well as further explore the personal psychological phenomena behind kain-kebaya and its attributes.
Dalam berbagai acara formal, kain kebaya tidak saja menjadi pakaian adat Jawa tetapi telah menjadi pakaian khas wanita Indonesia. Penggunaan kebaya sebagai pakaian khas merefleksikan bagaimana cara berpikir secara kolektif yang ingin menyeragamkan pendapat agar terjaga keindahan, keselarasan dan rasa aman dalam menggunakannya. Astari ingin mempertanyakan kembali secara filosofi bahwa wanita yang menggunakan sebenarnya tersembunyi dan tidak dapat mengekspresikan dirinya yang sebenarnya. Sebuah rasa aman yang pura-pura, samar, bohong, ditutup-tutupi. Oleh karena itu kenapa ia mengambil judul karya ‘Pseudo Security’, sebuah pertanyaan akan arti dan makna rasa aman itu sebenarnya, apa yang tersembunyi di balik kebaya beserta atributnya dan fenomena psikologi seseorang yang menggunakannya. Hal ini menjadi menarik ketika nilai-nilai yang terkandung dalam tradisi yang telah mengakar kuat direfleksikan kembali ke dalam karya seni dengan konsep dan pemikiran baru seperti dalam karya-karya Astari Rasjid. Seorang pengamat seni Carla Bianpoen menyebut Astari Rasjid sebagai perupa yang mengangkat persoalan ‘between vision and tradition’, antara visi dan tradisi.
Dalam sejumlah karya-karya yang lainnya Astari Rasjid juga menjatuhkan perhatiannya dan kritisismenya pada persoalan tradisi. Yang menjadi unik dan menjadi salah satu kepiawaiannya adalah secara rapi dan cerdas ia menggali pokok persoalan tradisi secara kreatif dan memiliki bobot orisinalitas ide yang tidak terduga dan segar. Hal ini yang memicu untuk mengetahui secara lebih jelas lagi bagaimana proses kreatif secara teknis dan latar belakang ide penciptaan karya seorang perupa perempuan Indonesia nan cantik, seorang Astari Rasjid.
Epilog
Membaca dan menginterpretasi sejumlah karya Astari Rasjid tidak dapat dipisahkan dari ke-identitas-an Astari sebagai perempuan yang sedang mempertanyakan secara kritis mengenai pertanyaan ke-kinian identitas seorang perempuan. Persoalan identitas perempuan ini menjadi wacana global yang sedang dibicarakan dalam konteks sosial-budaya negara-negara dunia ketiga, konteks filosofis identitas perempuan mengenai ’mempertanyakan kembali’ oposisi biner yang menjadi salah satu agenda besar wacana postmodernisme global tidak hanya di wilayah Asia Pasifik.
Secara cerdas dan segar, ide-ide astari mengangkat persoalan kedudukan (eksistensi) perempuan baik secara personal maupun wacana budaya di sekelilingnya. Hal ini menunjukkan bahwa karya-karya Astari Rasjid adalah karya seni yang berakar dari pengalaman merefleksi realitas-realitas yang terjadi di sekelilingnya. Dalam karya-karyanya dia masih terus mengusung persoalan-persoalan kemanusiaan, ketidakadilan, penyadaran kesetaraan gender melalui muatan unsur-unsur identitas tradisi ke-jawa-annya, keperempuanannya. Namun secara khusus sebenarnya Astari Rasjid pada intinya ingin Membongkar denotasi-denotasi dan mitos-mitos budaya yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Hal yang paling konsisten ingin dia bongkar adalah persoalan ketidakadilan gender, ideologi patriarki dan dominasi kuasa.